Kumpulan Cerita Sex Terbaru 2018 - Hai, perkenalkan namaku Erina. Usiaku
sekarang 18 tahun. Teman-temanku sering memuji wajahku yang bulat dan
manis dengan rambutku yang hitam sebahu yang menurut mereka amat serasi
dengan bentuk wajahku. Tubuhku yang mungil dengan tinggi 152 cm, memberi
kesan imut yang sering menjadi daya tarik tersendiri bagi
teman-temanku. Aku merupakan seorang mahasiswi keturunan Chinese dari
Medan yang bisa tergolong sebagai pendatang baru di Jakarta.
Aku merantau ke Jakarta sendirian untuk
melanjutkan pendidikanku di sebuah universitas swasta di Jakarta Barat.
Sehari-harinya aku bekerja sebagai guru les privat yang mengajar
anak-anak sekolah yang pada umumnya adalah anak-anak SMP atau SD.
Aku melakukan ini untuk membiayai uang
kuliah dan segala keperluanku. Maklumlah, sebagai pendatang baru di kota
besar seperti Jakarta, aku harus bisa membiayai segala keperluanku
sendiri. Apalagi keluargaku yang berasal dari daerah juga bukan
tergolong keluarga yang cukup mampu untuk membiayaiku, maka aku
memutuskan untuk mandiri sendiri di perantauanku. Suatu hari, aku
mendapat panggilan dari sebuah keluarga yang ingin agar aku mengajar les
anak tunggal mereka. Mereka menawarkan gaji yang bagiku amat tinggi dan
kurasa cukup untuk membiayai kehidupanku di Jakarta.
anpa pikir panjang lagi, segera kuterima
tawaran keluarga itu, dan kami setuju bahwa aku akan mulai mengajar
anak mereka besok sore harinya sepulang kuliah. Esok harinya, aku pun
datang untuk mulai mengajar murid baruku itu. Sesampainya di rumah itu,
aku tertegun melihat arsitektur rumah itu yang seperti sebuah istana
yang dilengkapi taman hijau dan dikelilingi pagar terali yang tinggi.
Dibandingkan dengan rumahku di daerah yang hanya ¼ luas rumah itu,
apalagi tempat kosku yang kecil dan sumpek, tentu saja memiliki rumah
seperti ini sudah menjadi impianku sejak kecil.
DING-DONG!! Kutekan bel pintu di sebelah pagar rumah itu.
“Siapa?” terdengar suara wanita di Interkom yang terletak di samping bel pintu itu.
“Saya Erina, guru les privat anak anda yang baru!” jawabku
“Oh, Erina! Ayo, silakan masuk!”
Tiba-tiba, gerbang terali rumah itu
terbuka. Aku pun segera masuk kedalam. Pintu garasi itu terbuka dan
keluarlah seorang wanita paruh baya, usianya sekitar 40-an tahun. Dari
penampilannya yang necis seperti seorang business-woman, sudah jelas
bahwa ia adalah pemilik rumah ini. Wanita itu segera menyambut
kedatanganku.
“Halo, Erina! Bagaimana kabarnya?”
“Baik-baik saja bu. Anda Bu Diana? Ibu Rendy?” tanyaku dengan sopan.
“Ya, betul! Ayo masuk, kita bicara didalam!” ujarnya mempersilahkanku masuk
Sambil menuju ke ruang tamu, kami
berbincang-bincang sejenak. Dari situ aku tahu bahwa bu Diana adalah
pemilik Bridal Studio ternama di Jakarta sekaligus seorang desainer gaun
pengantin yang sering pergi ke luar negeri untuk melihat
pameran-pameran di luar negeri. Bahkan, di rumahnya banyak terpajang
piala penghargaan bagi desainer di pameran luar negeri.
Sementara suaminya adalah kepala cabang
sebuah bank multinasional yang saat ini tinggal di Jerman. Maka ia hanya
tinggal berdua saja dengan anaknya di rumah itu. Seringkali anaknya
dititipkan ke kerabatnya apabila bu Diana hendak pergi ke luar negeri.
Aku pun dipersilahkan untuk menunggu di ruang tamu sementara bu Diana
mengambilkan minuman untukku. Aku hanya terpaku melihat hiasan-hiasan
indah di rumah itu. Rasa-rasanya, harga salah satu hiasan patung ataupun
lukisan itu cukup untuk membiayai uang kuliahku untuk satu semester.
“Hayo, kok malah melamun?” aku dikagetkan oleh suara bu Diana yang segera menyajikan segelas es sirop untukku.
“Eh.. tidak.. maaf, Bu!” aku tergagap
salah tingkah, namun bu Diana hanya tersenyum melihatku. Bu Diana segera
duduk di sofa ruang tamu di depanku.
“Nah, Erina. Kamu akan mengajar Rendy mulai hari ini. Ibu harap kamu bisa memperbaiki nilai-nilainya di sekolah.”
“Baik bu. Saya akan berusaha sebaik mungkin.”
“Saya senang melihat semangatmu. Tapi apa kamu tahan menghadapi anak-anak nakal?”
“Memangnya ada apa, bu?” tanyaku penasaran
“Rendy sekarang duduk di kelas 3 SMP,
usianya tahun ini 16 tahun. Kamu tahu, itu masa yang rawan bagi anak
remaja. Nilai Rendy terus menurun, ia lebih sering menghabiskan waktunya
buat bermain atau menonton di kamarnya.” Bu Diana tampak menghela
napas.
“Tenang saja, bu. Saya akan berusaha untuk membuatnya belajar. Saya yakin, nilai Rendy pasti akan segera membaik.”
“Bagus. Kinerjamu akan dinilai lewat nilai-nilai ujian semester mereka Juni ini.”
“Berarti, 5 bulan dari sekarang?”
“Benar. Tunggu sebentar ya, Erina? Ibu akan memanggil Rendy dulu.”
Rendy
Aku mengangguk menyetujui. Bu Diana lalu beranjak pergi ke lantai atas. Tak lama kemudian, Bu Diana turun beserta seorang anak laki-laki. Wajah anak itu tidak bisa dibilang tampan, menurutku. Tubuhnya kurus dan termasuk tinggi untuk anak seusianya, bahkan lebih tinggi dariku. Tapi mukanya yang tampak masam saat melihatku yang duduk di hadapannya, dari wajahnya sudah terlihat ia seorang yang nakal dan bermasalah.
Aku mengangguk menyetujui. Bu Diana lalu beranjak pergi ke lantai atas. Tak lama kemudian, Bu Diana turun beserta seorang anak laki-laki. Wajah anak itu tidak bisa dibilang tampan, menurutku. Tubuhnya kurus dan termasuk tinggi untuk anak seusianya, bahkan lebih tinggi dariku. Tapi mukanya yang tampak masam saat melihatku yang duduk di hadapannya, dari wajahnya sudah terlihat ia seorang yang nakal dan bermasalah.
“Ayo, beri salam ke Kak Erina! Mulai hari ini dia yang akan menjadi guru privatmu!”
“Rendy.” Anak itu tampak acuh dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman denganku.
“Erina, salam kenal!” Aku berusaha tersenyum sambil membalas uluran tangannya.
“Baiklah, ayo antar kak Erina ke kamarmu
dan mulai belajar!” perintah bu Diana, yang hanya dijawab oleh gerutuan
dari Rendy. Aku tersenyum dan mengikuti Rendy ke kamarnya. Sejak hari
itu, aku mulai mengajari Rendy sebagai guru privatnya.
Hari demi hari berlalu. Tidak terasa,
sudah 3 bulan berlalu sejak hari itu. Tiap hari Senin hingga Jumat sore,
aku terus mengajari Rendy sebagai guru privatnya secara rutin.
Lama-lama aku pun semakin mengenal Rendy. Rendy sering bergaul dengan
teman-temannya, namun sayangnya Rendy salah memilih pergaulan. Ia
bergaul dengan anak-anak nakal di sekolahnya.
Aku pernah melihat teman-temannya yang
nakal itu, mereka selalu saja mengajak Rendy untuk membolos saat aku
mengajar, yang seringkali dituruti olehnya, belum lagi sikap mereka yang
menurutku tidak sopan maupun cara mereka bergaul yang lebih condong ke
arah pergaulan bebas. Aku selalu bersabar mengajari Rendy, tapi anak itu
benar-benar bandel. Setiap kali aku mengajarinya, ia hanya
mengacuhkanku ataupun bengong melamun.
Semua tugas yang kuminta untuk
dikerjakan tidak pernah disentuhnya sama sekali. Parahnya lagi, tidak
jarang kulihat kepingan DVD porno yang disembunyikannya dibawah
kasurnya. Aku tidak pernah menghiraukan hal itu, karena tugasku di sini
adalah untuk mengajarinya bahan pelajaran, bukan untuk menceramahinya.
Mungkin karena pengaruh DVD itu dan pergaulannya, dia juga sering
menggodaku untuk menjadi pacarnya. Aku memang masih single, tapi pacaran
dengan anak dibawah umur? Tak pernah sama sekali terlintas di benakku
untuk melakukan hal itu, apalagi Rendy adalah muridku.
Sering aku nyaris kehilangan kesabaran
karena ulah Rendy, namun aku selalu teringat akan janjiku pada bu Diana
untuk memperbaiki nilai Rendy dan mengingat biaya yang dikeluarkan bu
Diana untuk membayarku, sudah cukup untuk membuatku selalu tegar
menghadapi kebandelan Rendy. Namun seberapapun aku berusaha menahan
kesabaranku, rupanya kesabaran bu Diana mulai habis. Suatu hari, ia
memanggilku saat aku mengajar Rendy.
“Erina, saya pikir kamu sudah tahu kalau nilai Rendy selama ini sama sekali tidak membaik.” Ujarnya agak keras
“Maaf, bu. Saya sudah berusaha, tapi Rendy..”
“Saya tidak mau mendengar alasan, Erina.
Kamu tahu berapa gajimu setiap bulan bukan? Saya berharap pengeluaran
itu setimpal dengan hasil yang kamu berikan. Tapi kalau begini hasilnya,
saya benar-benar kecewa..” ujarnya dengan nada agak ketus
“Tapi..”
“Begini saja. Saya akan tetap berpegang
pada janji saya untuk menilaimu lewat hasil Rendy pada semester ini.
Kalau nilainya masih juga belum membaik, saya terpaksa mencari
pembimbing yang lebih mampu.”
“Tapi bu..” aku berusaha memberi argumen dengan Bu Diana.
“Sudahlah Erina, saya harus pergi ke
studio sekarang! Saya harap, kamu bisa memperbaiki nilai Rendy secepat
mungkin!” tegas bu Diana sambil berlalu pergi keluar dari rumahnya.
Kata-kata bu Diana benar-benar membuatku
mulai patah arang. Bagaimana cara menggerakkan anak sebandel itu untuk
belajar? Yang kutahu ia hanya tertarik dengan game PlayStation dan
koleksi film miliknya, baginya memegang buku pelajaran pasti lebih susah
daripada berenang melintasi samudra! Rasa putus asa menyelimutiku saat
aku membayangkan bagaimana membiayai kuliahku apabila bu Diana
meberhentikanku. Dengan lesu, aku kembali ke kamar Rendy untuk mengajar.
Namun, sesampainya di kamar, aku melihatnya tertawa terbahak-bahak saat
aku memasuki kamarnya.
“Apa yang lucu?!” ketusku dengan muka masam.
“Mau dipecat ya, Kak? Kasihaan deeeh!” ejeknya sambil tertawa.
Mendengar ejekan Rendy sudah lebih dari cukup untuk membuat amarahku yang sudah lama terpendam, meledak seketika.
“Kamu maunya apa sih?! Kakak sudah
memberimu penjelasan dan latihan-latihan, tapi sama sekali tak
digubris!! Bagaimana nilaimu bisa bagus kalau kamu tidak pernah
belajar!! Setiap hari yang kamu tahu cuma main game atau bengong saja!!”
bentakku pada Rendy. Aku benar-benar merasa marah dan dipermainkan oleh
anak itu. Tapi Rendy hanya tersenyum mendengar bentakanku itu.
“Oke deh, kalau Kakak maunya begitu.
Rendy akan minta Mami untuk mencari guru baru. Kakak cari saja murid
yang mau menurut!!” Ujarnya dengan sombong.
Seketika itu juga aku ambruk ke lantai,
air mataku menetes karena putus asa. Aku sudah harus membayar biaya
kuliahku bulan depan yang rencananya akan kubayar dengan gajiku bulan
ini. Apabila aku diberhentikan sekarang, bagaimana caraku untuk membayar
uang itu? Tidak mungkin meminta kiriman uang dari keluargaku, aku tidak
memiliki kerabat di Jakarta dan lagipula mana mungkin teman-temanku mau
meminjamkan uang untuk mahasiswi miskin sepertiku ini? Sebenarnya
banyak mahasiswa yang tertarik padaku dan mau menjadi pacarku. Bisa saja
aku meminjam uang dari mereka, namun aku tak mau kalau harus berhutang
budi pada mereka, bisa saja itu menjadi alasan mereka untuk memaksaku
menjadi pacar mereka. Pikiran bahwa aku harus berhenti kuliah membuatku
galau dan putus asa. Aku pun menangis terisak di hadapan Rendy.
“Waah, malah nangis.. Dasar cengeng!” ejek Rendy saat melihatku menangis, namun itu tidak menghentikan isak tangisku.
“Oke, oke. Aku mau belajar, tapi kakak harus menuruti permintaanku, Oke?!” Rendy mulai membujukku.
“A..apa yang kamu mau?!” jawabku sambil terisak.
“Pertama, kakak berdiri dulu ya?” Rendy
memegang tanganku dan membantuku berdiri. Aku pun segera beranjak
bangun. Kulihat mata Rendy tampak menggerayangi lekuk tubuhku. Ia lalu
berjalan berputar-putar mengelilingiku. Aku pun mulai risau melihat
gelagat anak itu.
“Sudah! Jangan putar-putar melulu! Kepala kakak pusing tahu!! Kamu maunya apa sih?!” bentakku tidak sabaran.
“Kak, Rendy penasaran deh..” ungkap Rendy.
“Apanya?!”
“Kakak itu cewek kan?”
“Lalu kenapa? Bukannya sudah jelas kan?!” jawabku kesal.
“Kalau begitu, kakak punya memek juga doong..” balas Rendy dengan nada mengejek.
“Rendy penasaran nih.. Memek kakak mirip
nggak ya, dengan memek cewek-cewek yang sering kulihat di film-film
porno?” sambungnya dengan santai.
Oh, astaga! Bagai tersambar petir, aku
benar-benar marah mendengar ucapan Rendy itu. Moral anak ini benar-benar
sudah hancur sama sekali!! Bagaimana bisa dia menanyakan hal seperti
itu didepan seorang gadis dengan santainya? Anak ini benar-benar sudah
kelewat batas!
PLAAK.. Tanpa sadar kutampar pipi kiri Rendy hingga anak itu terjatuh ke lantai. Rendy pun merintih kesakitan.
“Aduh, sakiit..” rintihnya pelan.
Ya ampun! Apa yang telah kulakukan?
Sesaat aku sontak tersadar, namun sudah terlambat. Tamparanku sudah
keburu mendarat di pipi Rendy. Melihat Rendy yang terjatuh, aku pun
merasa semakin panik. Segera kuhampiri Rendy yang masih merintih di
lantai.
“Rendy, Rendy! Kamu nggak apa-apa kan?! Maaf ya, kakak tak sengaja. Maaf..” tanyaku cemas.
Aku berusaha menggenggam tangan Rendy, namun ia segera menepis tanganku.
“Pergi sana! Rendy akan laporkan kakak ke Mami!! Biar nanti kakak dituntut ke polisi!!” teriaknya.
“Rendy.. Kakak minta maaf ya? Kakak
benar-benar tak sengaja..” aku benar-benar panik mendengar ancaman
Rendy, yang sangat mungkin menjadi kenyataan mengingat keluarganya yang
cukup terpandang.
“Nggak mau! Pergi sana!! Tunggu saja
sampai Mami pulang, Kakak pasti kulaporkan!” ancam Rendy sekali lagi.
Rendy segera beranjak, hendak keluar dari kamarnya.
Aku benar-benar putus asa dan
kebingungan. Masalah yang datang menghampiriku silih berganti. Bagaimana
ini? Sebelumnya, ancaman pemecatanku sudah diambang mata dan sekarang
malah aku terancam dituntut oleh keluarga kaya ini. Pikiranku pun mulai
buntu dan tanpa pikir panjang lagi, kutarik tangan Rendy untuk
mencegahnya keluar kamar.
“Tunggu Rendy!! Kakak akan menuruti
permintaan Rendy! Apapun! Tapi tolong jangan laporkan kakak ke bu
Diana!” bujukku pada Rendy.
Langkah kaki Rendy terhenti sebentar. Rendy lalu melirik melihatku.
“Benar nih? Kakak nggak bohong kan?” tanyanya tidak percaya.
“Iya, iya! Kakak janji! Tapi cuma sekali ini saja ya!” jawabku putus asa.
“Oke deh kalau begitu. Rendy mau lihat memek kakak sekarang.” Perintahnya padaku.
“Tapi cuma lihat saja ya! Jangan macam-macam!”
“Iya, deeh..” jawab Rendy puas.
Aku lalu berdiri di depan Rendy,
perlahan-lahan kunaikkan rok putihku yang selutut di hadapan anak itu.
hingga akhirnya rokku mencapai pinggul, menampakkan pahaku dan celana
dalam pink berendaku dengan jelas. Rendy tampak takjub saat melihat
celana dalamku yang masih menutupi selangkanganku.
“Tunggu Kak! Jangan bergerak dulu!”
perintah Rendy mendadak. Aku pun tak punya pilihan lain selain
memamerkan celana dalamku di hadapan Rendy.
Cerita Seks Bersambung | Perasaanku
campur aduk saat melihat mata Rendy yang tampak berbinar-binar takjub
melihat celana dalamku. Aku pun bisa mendengarnya menelan ludah. Pasti
ini pengalaman pertamanya melihat celana dalam seorang gadis yang asli.
Kurasa selama ini dia hanya melihat celana dalam wanita lewat film
pornonya saja. Ia tampak gugup sekaligus senang melihat celana dalamku.
Sementara jantungku berdegup kencang sekali saat mengingat seorang anak
ABG sedang mengamati celana dalamku dengan seksama.
Wajahku sekarang pasti sudah lebih merah
dari buah tomat yang matang karena malu. Rendy menoleh sejenak ke
belakang sambil menghela nafas. Kurasa ia juga amat gugup karena dari
tadi mengamati celana dalamku tepat di depan wajahnya. Tapi, ia segera
kembali menoleh melihat celana dalamku dan kali ini kulihat sorot
matanya yang secara khusus mengamati bayangan vaginaku dibalik celana
dalamku. Sorot matanya yang mengamati dengan seksama memberiku sensasi
yang aneh. Belum pernah kulihat sorot matanya seserius itu.
Semakin lama, kepalanya semakin maju
hingga memasuki rokku dan tampaknya ia benar-benar menikmati saat
mengamati celana dalamku. Aku dapat merasakan dengan sangat jelas detak
jantungku yang berdegup semakin kencang. Aku merasa bingung mengapa
jantungku bisa berdetak sekencang itu hanya karena Rendy sedang
mengamati celana dalamku? Aduuh.. andai saja aku tidak menamparnya tadi,
sesalku dalam hati.
“Rendy, sudah ya.. Kakak sudah capek nih..” bujukku pada Rendy.
“Belum kak. Kakak masih belum menepati janji kakak!” protesnya padaku.
“Apa lagi, sih, Rendy?!”
“Aku mau melihat memek kakak! Bukannya
tadi kakak berjanji untuk menuruti keinginanku? Ayo, buka celana
dalamnya dong kak!” pintanya padaku.
“Tapi.. tapi..” aku berusaha mencari
alasan untuk menolak permintaan Rendy, namun pikiranku buntu sama
sekali. Memang benar tadi Rendy sempat berkata bahwa ia ingin melihat
kewanitaanku. Tapi bagaimanapun, aku merasa amat keberatan kalau seorang
anak kecil melihat vaginaku yang selalu kujaga baik-baik untuk suamiku
di masa depan.
“Ayo, kak! Kalau tidak aku akan
melaporkan kakak ke Mami lho!!” ancamnya sekali lagi. Aku sadar, aku
tidak mungkin meloloskan diri dari permintaan Rendy.
“Iya deh! Tapi cuma sebentar saja ya!”
gerutuku. Saat mendengar kata melapor ke Mami, aku sudah kalah telak
tanpa bisa membantah atau menolak permintaan anak ini.
“Oke deh!!” serunya dengan riang setelah mendapat izin dariku.
Tanpa menunggu lama, ia segera
melorotkan kedua sisi celana dalamku dan menurunkan celana dalamku
hingga celana dalamku tergulung di pahaku. Sekarang, tanpa pelindung
apapun, kewanitaanku terpampang jelas dihadapan Rendy yang kini
mengalihkan perhatiannya ke vaginaku. Pikiran dalam hatiku berkecamuk.
Apa yang sebenarnya kulakukan? Bukankah bu Diana membayarku untuk
mengajar les privat anaknya? Namun kenyataannya sekarang, celana dalamku
sudah ditarik turun oleh muridku sendiri yang kini sedang sibuk
mengamati kewanitaanku. Kalau bu Diana mengetahui hal ini, aku tidak
tahu apa yang akan dilakukannya padaku. Paling tidak aku agak beruntung
karena bu Diana tidak berada di rumah saat ini, jadi aku tidak perlu
khawatir akan kepergok olehnya.
“Waah, beda sekali dengan memek
cewek-cewek di film porno. Memek kakak bersih ya! Nggak ada
rambut-rambutnya!” puji Rendy padaku.
Tentu saja! Aku paling menjaga dan
merawat daerah kewanitaanku sebaik mungkin. Aku selalu teratur
membersihkan vaginaku dan mencukur rambut kemaluanku. Mana mungkin
vaginaku disamakan dengan vagina para perempuan di video porno yang
pasti tidak dirawat dengan teratur! Pikirku kesal.
“Hei, Rendy. Sudah cukup ya?” pintaku pada Rendy.
“Sebentar lagi, ya. Kak!”
Ampuun! Aku benar-benar terjebak!
Memamerkan kewanitaanku di depan anak SMP sudah lebih dari cukup untuk
membuatku malu seumur hidup! Aku tak berani membayangkan kalau ada orang
yang melihat hal ini. Badanku terasa panas dan keringatku mulai
mengucur deras hanya karena kewanitaanku diamati oleh Rendy. Apalagi
mengingat kalau aku seharusnya mengajarinya dalam pelajaran, bukan malah
memberinya tontonan yang tidak pantas seperti ini.
“Waah.. kok memek kakak makin lama makin basah sih?!” tanya Rendy tiba-tiba.
“Ah.. Eh?!” mendadak aku tersadar dari
lamunanku, saat itulah aku baru menyadari kalau jari telunjuk Rendy
sudah menyentuh bibir vaginaku. Ujung jari Rendy sudah mulai masuk
sedikit ke dalam liang vaginaku dan mulai menggosok-gosok bibir vaginaku
yang sudah basah karena luapan cairan cintaku tanpa sadar.
“AAH!!! Hei!! Hentikan, Rendy!!!” aku
benar-benar panik melihat jari Rendy di vaginaku itu. Aku takut kalau
keperawananku malah terenggut oleh jari-jari Rendy. Namun Rendy tidak
berhenti.
“Rendy! Sudah cukup, hei!! Bukannya kamu berjanji hanya melihat saja?!” protesku pada Rendy.
“Aargh! Berisik! Diam saja! Kalau tidak, kutusukkan jariku kedalam memek kakak dalam-dalam, mengerti?!” bentak Rendy padaku.
Aku benar-benar takut. Rendy memang
memegang kendali saat ini, apalagi dengan jarinya yang masih sibuk
memainkan bibir vaginaku, mudah saja baginya untuk memperawaniku dengan
jarinya. Aku berpikir daripada aku diperawani jari-jari Rendy, mungkin
lebih baik kalau aku menuruti kemauannya. Aku kembali menangis terisak,
namun Rendy tidak menghiraukan tangisanku, ia malah menggosok-gosokkan
jarinya di sela vaginaku dengan pelan. Saat itulah aku tersentak sesaat
merasakan kenikmatan gosokan jari Rendy di vaginaku. Jujur saja, ini
merupakan pengalaman pertama bagiku merasakan kenikmatan seperti itu
karena aku tidak pernah beronani sebelumnya. Aku pun merasa tenagaku
untuk berontak lenyap seketika.
“Ah.. ohh.. aakh..” tanpa sadar, aku mendesah nikmat karena gosokan jari Rendy.
“Ada apa, Kak?!” tanya Rendy padaku.
“Aahh.. hentikan.. Rendy.. jangan.. auuch..” Suaraku sudah mulai bercampur dengan lenguhanku.
“Lho, kok kakak mau berhenti? Bukannya rasanya enak Kak?” balasnya setengah mengejek.
“Eegh.. itu.. itu..” tanpa sadar, aku pun melepaskan rokku yang dari tadi kupegang, tapi Rendy segera menyibakkan rokku kembali.
Rendy terus mengamati wajahku untuk
melihat reaksiku, aku berusaha tidak menatap wajahnya, walaupun sesekali
dapat kulihat ia tersenyum dengan reaksiku. Badanku terasa limbung ke
belakang, tempat meja belajar Rendy berada. Aku pun menyandarkan diri di
meja belajar itu dan kedua tanganku memegang bibir meja itu agar aku
tidak jatuh. Rendy sekarang memegangi rokku dan menekannya di perutku,
sehingga rokku tersibak dan vaginaku terpampang semakin jelas.
“Nah, kita mulai sekarang ya, Kak?”
ujarnya padaku dan ia mulai mempercepat gosokannya di bibir dan
celah-celah vaginaku. Aku pun tidak lagi menolak. Lagipula, aku tidak
ingin Rendy menghentikan aktivitasnya saat ini, aku sudah terlanjur
dikuasai kenikmatan yang melanda tubuhku
“Ouchhh.. aahh.. aahhh..” desahku
menahan kenikmatan di vaginaku, akal sehatku sudah lenyap dan aku
sepenuhnya dikuasai oleh kenikmatan di kewanitaanku. Entah mengapa,
fakta bahwa yang mengocok vaginaku adalah muridku sendiri yang masih SMP
malah membuatku semakin bernafsu.
“Aduuh.. aw.. aw.. aww..”
rintihan-rintihan kenikmatan keluar dari mulutku setelah 3 menit berlalu
sejak bibir kewanitaanku dilayani oleh jari-jari Rendy. Aku pun sudah
tidak tahan lagi, aku merasa akan segera mencapai orgasmeku untuk
pertama kalinya. Namun, tiba-tiba terdengar suara decitan mobil di
halaman rumah. Bu Diana telah pulang! Aku dan Rendy segera menghentikan
aktifitas kami, dan aku segera merapikan celana dalam dan rokku kembali.
ami lalu bergegas kembali ke meja
belajar untuk melanjutkan les. Walaupun aku merasa agak kecewa karena
nyaris saja mencapai orgasme, namun aku tetap melanjutkan mengajari
Rendy walaupun suasana hatiku amat galau saat itu. Akhirnya aku pun
selesai mengajar Rendy hari itu. tapi harus kuakui, Rendy tampak lebih
bersemangat menyimak penjelasanku sehabis kejadian itu. Hanya saja aku
tampak kacau karena banyak hal yang terjadi hari itu. Tapi bagaimanapun
aku juga masih bersyukur karena selaput daraku tidak sampai robek akibat
ulah Rendy tadi.
Sebelum pulang, Rendy sempat meminjam
Handphoneku. Alasannya, ia mau mengirimkan lagu-lagu baru untukku, aku
pun hanya mengiyakan saja permintaan Rendy itu. Setelah Rendy
mengembalikan Handphoneku, aku pun segera pamit kepada bu Diana dan
kemudian pulang ke tempat kosku. Aku berharap semua kejadian hari ini
hanyalah mimpi buruk semata.
Esok harinya, aku pun terbangun dalam
keadaan galau. Semalaman aku mencoba tidur, namun di kepalaku selalu
terbayang kejadian kemarin sore di rumah bu Diana. Akibatnya, bisa
ditebak, aku benar-benar merasa amat letih dan lesu. Aku pun mencoba
menyetel lagu yang kemarin diberikan Rendy padaku untuk mempercerah
suasana. Aku lalu membuka handphoneku untuk mendengarkan lagu. Tapi aku
tidak menemukan satupun file musik baru di handphoneku, malahan,
lagu-lagu koleksiku banyak yang terhapus.
Penasaran, aku pun memeriksa isi
handphoneku. Sekarang, di bagian video, malah ada sebuah video yang
berukuran ekstra besar. Penasaran dengan video di handphoneku, aku pun
mulai memutar video itu. Astaga! Aku benar-benar terkejut setengah mati
saat melihat diriku yang sedang memamerkan celana dalam di hadapan Rendy
terekam di video itu dan bagaimana Rendy memainkan jari-jarinya di
vaginaku juga terlihat dengan amat jelas dari arah samping. Saat itulah
aku baru ingat bahwa saat aku memamerkan selangkanganku, sebuah handycam
milik Rendy tergeletak di ranjangnya yang ada di samping meja
belajarnya.
Berarti, Rendy secara diam-diam berhasil
merekam adegan mesumku! Tidak terbayang bagaimana perasaanku saat itu.
Rasa letih d an lesu yang menyerangku dari pagi kini ditambah dengan
perasaan cemas dan takut kalau video itu disebarluaskan, apalagi wajahku
tampak jelas di video itu. Aku bingung, apa yang harus kulakukan?
Bagaimana apabila video itu sudah disebarluaskan? Aku pasti
diberhentikan dari universitas. Parahnya lagi, aku pasti akan dianggap
sebagai perempuan rendahan oleh masyarakat. Bagaimana caraku menjelaskan
pada keluargaku tentang video itu? Bayangan-bayangan itu terus
berkecamuk didalam pikiranku selama seharian penuh. Walaupun begitu,
sore harinya aku kembali berangkat menuju rumah bu Diana untuk mengajari
Rendy. Saat aku datang, bu Diana masih belum pulang karena harus
menyelesaikan proyek di studionya. Aku pun segera menemui Rendy untuk
menyelesaikan masalah ini. Kebetulan, Rendy yang membukakan pintu
untukku. Seolah ia sudah lama menunggu kedatanganku.
“Halo, Kak Erina. Bagaimana, video klip lagunya bagus tidak?” tanyanya dengan nada mengejek.
“Rendy, kenapa kamu sejahat itu dengan
kakak?! Buat apa kamu merekam video beginian sih?! Belum cukup kamu
mempermainkan kakak kemarin?!!” jawabku dengan perasaan kesal bercampur
cemas.
“Waah, kenapa Rendy dibilang
mempermainkan kakak? Bukannya kemarin kakak terlihat nyaman saat aku
layani?” Mata Rendy tampak semakin merendahkanku.
“Sudahlah! Mana videonya? Cepat berikan ke kakak!!” perintahku.
“Tenang saja kak, videonya Rendy simpan dengan baik kok. Jadi kakak tenang saja!”
Aku mengepalkan tanganku, menahan
berbagai macam emosi yang bergejolak di dalam hatiku. Nyaris aku kembali
menangis karena rasa cemas yang semakin kuat mencengkeram diriku, namun
aku berusaha mengendalikan diri. Aku sadar aku tidak bisa mengambil
jalan kekerasan untuk menghadapi Rendy, karena malah akan membuat
masalahku tambah runyam.
“Oh iya, Rendy juga belum memperlihatkan
videonya ke orang lain. Waah, sayang sekali ya kak? Padahal videonya
bagus kan?” lanjutnya.
Mendengar pernyataan Rendy itu, aku
merasa melihat secercah cahaya dan harapanku sedikit pulih. Namun masih
saja aku merasa tegang dan cemas. Aku pun berusaha membujuk Rendy untuk
menyerahkan video itu padaku.
“Rendy, kakak mohon.. berikan video itu
ke kakak, ya? Tolong jangan sakiti kakak lagi..” aku memohon meminta
belas kasihan pada Rendy.
“Hmm.. kalau begitu, kakak harus mau menuruti perintahku lagi, aku berjanji akan memberikan videonya ke kakak.”
“Kakak mohon, Rendy.. Jangan lagi..” air
mataku kembali mengucur saat mendengar syarat yang diajukan Rendy.
Berarti aku harus kembali merendahkan diriku dihadapannya.
“Kakak mau atau tidak?! Kalau tidak, ya
sudah! Kakak bisa melihat videonya di internet besok pagi.” Ketusnya
tanpa menghiraukan perasaanku.
Aku pun tidak punya pilihan lain, selain
menuruti kemauan Rendy. Tampaknya percuma saja aku berusaha meminta
belas kasihan anak ini. Yang ada di pikirannya saat ini pasti hanyalah
keinginan untuk mempermainkan diriku sekali lagi. Terpaksa aku harus
melayani permintaannya lagi agar video itu kudapatkan.
“Baiklah, kakak mengerti.. Kakak akan
menuruti perintahmu, tapi kamu harus berjanji akan memberikan video itu
ke kakak!” jawabku memberi persetujuan.
“Beres, Kak!” Kali ini Rendy tampak girang sekali saat mendengar kalimat persetujuanku itu.
“Nah, sekarang apa yang kamu mau?!” Tanyaku tidak sabaran
“Tunggu sebentar dong Kak.. Jangan buru-buru! Kalau sekarang pasti cuma sebentar karena Mami sebentar lagi pulang.”
“Lalu, kamu maunya kapan?”
“Nah, kebetulan 2 hari lagi Mami akan
berangkat ke luar negeri, soalnya Mami akan memperagakan busana
pengantin buatannya di pameran.”
“Lalu kenapa?”
“Kebetulan minggu depan ada ulangan yang
penting, jadi aku boleh tinggal di rumah ini sampai mami pulang. Selama
itu, aku mau kakak untuk tinggal bersamaku di rumah, sambil
mengajariku! Bagaimana? Kita bisa bersenang-senang sampai puas kan,
Kak?”
“Memangnya sampai kapan bu Diana ada di luar negeri?” tanyaku kembali.
“Yaah, karena Mami juga mau ketemu Papi di Jerman, makanya Mami tinggal di sana selama 2 minggu.”
“Tapi apa bu Diana akan mengizinkan kakak untuk tinggal disini?”
“Tenang saja, kak! Biar nanti Rendy yang bicara dengan Mami.” Ujarnya meyakinkanku. (Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar